BAB I. PENDAHULUAN
1.1. Larat belakang
Provinsi
Riau memiliki hasil hutan yang cukup
besar, salah satu diantaranya
adalah berupa kayu. Kayu
tersebut dapat diolah untuk dijadikan
bahan baku kayu lapis, pulp dan kertas. Dengan adanya sumber daya hasil
hutan yang memadai akan mendukung pula berkembangnya industri-industri
penggergajian kayu (kusen) di Riau. Namun, hasil samping dari pengolahan
indutri tersebut dapat menimbulkan limbah berupa serbuk
gergaji. Dengan semakin meningkatnya industri
sawmill yang ada di Riau akan meningkatkan pula limbah serbuk gergaji yang
dihasilkan industri tersebut. Produksi total limbah
sawmill di Riau adalah sekitar 900.000 m³/tahun
dengan asumsi bahwa 15% dari keseluruhan total limbah tersebut adalah berupa
serbuk gergaji (Tim Pemberantasan Ilegal Logging Riau, 2006)
Selama
ini, penanganan limbah industri penggergajian dilakukan
dengan cara ditumpuk, dibuang ke aliran sungai serta dibakar. Tentu saja
hal ini mempunyai dampak negatif berupa
pencemaran terhadap lingkungan. Untuk itu
diperlukan adanya suatu pengolahan lanjut
dengan teknologi aplikatif sehingga menghasilkan produk yang
memiliki nilai tambah, dengan memanfaatkan serbuk gergajian menjadi wood pallet.
Masyarakat kalangan menengah ke bawah, saat ini
dihadapkan pada permasalahan kebutuhan energi khususnya kalangan masyarakat dan
rumah tangga. Selama ini, energi yang digunakan oleh masyarakat berasal dari
minyak bumi, gas, yang harganya semakin meningkat dan kadangkala susah
ditemukan (persediaan terkadang langka dengan harga yang mahal). Untuk itu
perlu dilakukan penelitian pemanfaatan serbuk gergajian (kusen) menjadi Wood Pellet sebagai bahan alternatif
energi bagi masyarakat.
Wood pellet merupakan produk yang saat ini sedang dikembangkan
sebagai sumber energi alternatif. Produk ini diperoleh dengan memadatkan serbuk
kayu menjadi batangan atau pellet. Dengan melihat manfaat wood pellet produk ini dapat digunakan sebagai pengganti energi atau
bahan bakar oleh masyarakat yang diharapkan dapat menekan pengeluaran
masyarakat dalam memenuhi kebutuhan ebergi.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka
penelitian ini dilakukan untuk memanfaatkan limbah perkayuan yang cukup tinggi
di Indonesia terutama di Pekanbaru. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
karakteristik pellet kayu limbah industri gergajian kusen (kayu campuran),
sebagai salah satu sumber energi alternatif yang ramah lingkungan.
1.2. Perumusan Masalah
Limbah industri gergajian kayu (kusen) selama
ini belum termanfaatkan secara optimal. Secara umum limbah yang dihasilkan oleh
industri penggerhajian kayu kusen selama ini hanya ditumpuk dan dibakar,
sehingga dapat mencemari lingkungan, salah satu teknologi yang dapat digunakan untuk
memanfaatkan limbah tersebut adalah memanfaatkan limbah menjadi wood pellet. Rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah :
1.
Bagaimana
cara memanfaatkan limbah serbuk gergajian menjadi wood pellet
2. Bagaimana karekteristik wood pellet yang dihasilkan dari limbah serbuk gergaji kusen
(campuran)
1.3. Tujuan penelitian
Adapun jutuan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1.
Membuat
produk wood pellet dengan cara basah
dari limbah kayu gerrgajian kusen (kayu campuran)
2.
Mengetahui
komposisi perekat dan air yang terbaik untuk pembuatan wood pellet
3.
Mengetahui
krateristik dari produk wood pellet
1.4. Hipotesis penelitian
Hipotesis dalam penelitian
ini adalah pemberian perekat dan air dalam komposit yang berbeda akan
mempengaruhi sifat-sifat atau karekteristik yang dihasilkan wood pellet
1.5. Manfaat
Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi
informasi dan alternatif baru dengan memanfaatkan limbah industri kayu kusen
sebagai bahan dasar pembuatan wood
pallet. Dan dimasa yang akan datang bisa menjadi bahan baku energi pengganti gas dan minyak bagi masyarakat
rumah tangga khususnya.
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Wood Pellet
Wood pellet adalah partikel kayu yang dipadatkan yang digunakan sebagai bahan
bakar (Jones, et. al., 2012). Wood pellet merupakan hasil pengempaan
biomasa yang memiliki tekanan yang lebih besar dibandingkan briket (Hendra,
2012). Wood pellet sudah umum digunakan di beberapa daerah di
suatu Negara, di beberapa tempat semakin popular seiring dengan mahalnya sumber
energi primer serta tuntutan terhadap mitigasi perubahan iklim (Jones, et. al., 2012).
Wood pellet adalah bentukan utama dari limbah kayu, meliputi :
serbuk gergaji, shavings, wood chips, yang dihasilkan dari pembagian batang,
furniture dan hasil hutan lainnya. Proses pembuatan pellet kayu terdiri atas
beberapa langkah : bahan baku, penyaringan (screening),
penggerusan (grinding), pengeringan (drying), pembuatan butiran (pelletizing), pendinginan (cooling), penyaringan kembali (screening), dan pengepakan (packaging). (Roos and Brackley, 2012).
Penelitian
produksi pellet kayu di Badan Litbang Kehutanan telah berhasil membuat mesin
pelet kayu dengan kapasitas 2,67 kg/jam dengan spesifikasi diameter lubang 15
mm dan panjang lubang 110 mm. Pelet kayu yang terbaik dihasilkan dari serbuk
gergajian kayu jati dengan ukuran serbuk 80 mesh pada suhu kempa 250oC
yang menghasilkan kerapatan 0,82 g/cm,
keteguhan tekan sebesar 387,64 kg/cm², nilai kalor bakar sebesar 4961,51 kal/g,
kadar abu 0,93% dan kadar air 0,98%, sedangkan kadar zat terbang terendah
terdapat pada serbuk gergajian kayu akasia yaitu sebesar 76,38%. Dalam satu jam
dapat dihasilkan 2,67 kg pelet kayu dengan energi listrik yang terpakai
sebanyak 2,55 kWh. Mesin pelet kayu sistem pres hidrolik yang dilengkapi
pemanas dari electric heater, berdasarkan uji coba hasilnya sudah cukup baik
dan dapat digunakan selama 8 jam tanpa henti (Hendra, 2012).
Variabel yang paling penting dalam produksi wood pellet adalah jenis biomassa (spesies, kadar air, bentuk
biomasa terkirim), tanaman dan harga peralatan, biaya energi dan struktur
tenaga kerja. Produksi wood pellet
cukup menguntungkan bagi produsen maupun retailer/distributor, termasuk bagi
produksi skala kecil dan menengah (Pirraglia, et. al., 2010).
Standar karakteristik sifat dasar wood pellet yang diacu oleh pasar internasional disajikan pada
Tabel 1.
Tabel 1.1 Standar Bahan
Bakar Pellet, efektif per Oktober 2010
Sifat dasar
|
Premium grade
|
Standard grade
|
Utility grade
|
Kerapatan (bulk density, lb/ft3)
Diameter (inches)
Diameter (mm)
Pellet durability index
Fines (percent at mill gate)
Inorganic ash (%)
Length (%> 1,5 inc)
Kadar air (%)
Chloride (ppm)
|
40,0 – 46,0
0,230 – 0,285
5,84 – 7,25
>96,5
<1,0
<1,0
<1,0
<6,0
<300
|
38,0 – 46,0
0,230 – 0,285
5,84 – 7,25
>95,0
<1,0
<2,0
<1,0
<10,0
<300
|
38,0 – 46,0
0,230 – 0,285
5,84 – 7,25
>95,0
<1,0
<6,0
<1,0
<10,0
<300
|
Sumber : Roos and Brackley
(2012)
Kementerian Kehutanan dan Korea Forest Service telah
menandatangani kerjasama pengembangan industri biomassa ini pada tanggal 6
Maret 2009. Salah satu industri yang telah menghasilkan wood
pellet adalah PT. Solar Park bekerjasama dengan Perum Perhutani
mengolah limbah kayu Sengon dan Kaliandra. Sampai tahun 2007, Indonesia
baru mampu menghasilkan wood pellet 40.000 ton, sedangkan
produksi dunia telah menembus angka 10 juta ton. Jumlah ini belum memenuhi
kebutuhan dunia pada tahun 2010 yang diperkirakan mencapai 12,7 juta ton.
Peluang mengembangkan bahan bakar ini sangat terbuka luas mengingat limbah
hasil hutan kita sangat besar baik dari limbah industri kayu maupun dari hutan
tanaman (Kementerian
Kehutanan, 2010).
Penggunaan
wood pellet sebagai bahan bakar alternatif pengganti bahan bakar posil untuk
industri besar,kecil, dan rumah tangga menghasilkan emisi lebuh rendah
dibandingkan minyak tanah dan gas (ratna dwianingsih 2013). Penelitian dan pemanfaatan pelet kayu
didorong oleh kebutuhan adanya energi alternatif biomassa pengganti minyak bumi
yang semakin mendesak karena harga minyak mentah yang akan terus meningkat dan
akan habis. Selain itu, adanya upaya menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK),
juga membuat pelet kayu menjadi salah satu pilihan tepat bagi masyarakat dan
industri baik kecil, menengah, maupun besar.
Keunggulan lain pelet kayu adalah mengoptimalkan pemanfaatan
berupa limbah seperti serbuk kayu sehingga mempunyai nilai jual yang lebih
tinggi, yang biasanya dibuang begitu saja. Pelet kayu juga memberi nilai tambah
pada proses pengolahan kayu serta meningkatkan profitabilitas usaha
kecil.
Pelet kayu berbentuk silindris dengan diameter 6-10 mm dan
panjang 1-3 cm dan memiliki kepadatan rata-rata 650 kg/m3 atau 1,5 m3/ton.
Pelet kayu dihasilkan dari berbagai bahan biomassa, terutama limbah serbuk
gergaji dari pabrik penggergajian kayu dan serbuk limbah veneer dari pabrik kayu
lapis atau palet daur ulang. “Prosesnya sangat sederhana, bahan baku
dikeringkan sampai kadar air maksimal 10% selanjutnya dipres dengan tekanan
tinggi dan dipanaskan pada suhu sekitar 120-1800C, untuk proses kering.
Sedangkan untuk proses basah bisa menggunakan bahan baku dengan kadar air
tinggi, ditambah tepung kanji dan air kemudian dipres dengan tekanan tinggi
tanpa pemanasan. Kedua sistem ini dilakukan secara kontinu,” (Gustan.2013)
Berdasarkan data hasil penelitian pada Jurnal Sosial dan
Ekonomi Kehutanan Vol.9 No.4 Desember tahun 2012, penggunaan pelet kayu sebagai
bahan bakar dapat meningkatkan keuntungan usaha. Dalam jurnal tersebut, (Dra.
Setiasih Irawanti, M.S. dkk 2012) , menyatakan nilai tambah, keuntungan dan
margin yang dihasilkan adalah paling tinggi ketika menggunakan bahan bakar
sebetan dan pelet kayu, sebaliknya paling rendah ketika menggunakan gas.
2.2. Sumber Energi Alternatif
Sejak tahun 1990,
sumber energi terbarukan di dunia mengalami peningkatan dengan laju pertumbuhan
rata-rata per tahunnya sebesar 1,7%, atau sedikit lebih tinggi dibandingkan
dengan laju pertumbuhan Total Pasokan Energi Primer (TPES) dunia. Pertumbuhan
tinggi terutama terjadi pada energi terbarukan ”baru” yaitu angin dan matahari,
yang meningkat dengan laju pertumbuhan rata-rata per tahun sebesar 19%, dimana
bagian terbesar dari pertumbuhan tersebut terjadi di negara-negara OECD, yang
mempunyai program energi angin berskala besar seperti di Denmark dan Jerman.
(IEA, 2005).
Energi
terbarukan adalah energi yang berasal dari proses alami yang terus menerus
diperbarui. Terdapat beberapa jenis energi terbarukan, yang diperoleh baik
secara langsung maupun tidak langsung dari matahari, atau dari panas yang dibangkitkan
dari dalam bumi.Energi tersebut meliputi energi yang dihasilkan dari matahari,
angin, biomassa, panas bumi, tenaga air dan sumber daya di laut, biomassa
padat, biogas dan Bahan Bakar Nabati (BBN) cair.(IEA, 2005).
2.3. Potensi limbah Kayu
Simarmata dan Hartyanto (1986) dalam
irwan (1993) menyatakan bahwa limbah kayu dapat dibagi menjadi 2 golongan
yaitu:
1.
Limbah
kayu yang terjadi pada kegiatan eksploitasi hutan berupa pohon yang ditebang
terdiri dari batang sampai bebas cabang, tunggak dan bagian atas cabang
pertama.
2.
Limbah
kayu yang berasal dari industri pengelolaan kayu antara lain berupa lembaran
veneer rusak, log end atau kayu penghara yang tidak berkualitas, sisa kupasan,
potongan log, potongan lembaran veneer, serbuk gergajian, serbuk pengamplasan,
serbetan, ppotongan ujung dari kayu gergajian dan kulit.
Potensi limbah kayu di Indonesia ada
3 macam industri yang secara dominan mengkonsumsi kayu alam dalam jumlah
relatif besar, yaitu : industri kayu lapis industri penggergajian, industri
pulp/kertas. Sebegitu jauh limbah biomasa dari industri tersebut sebagian telah
dimanfaatkan kembali dalam proses pengelolaannya sebagai bahan bahakar guna
memenuhi kebutuhan energi industri kayu lapis dan Plup/kertas. Hal yang
menimbulkan permasalahan menurut Pari. G (2001) adalah limbah industri
penggergajian yang kenyataannnya dilapangan masi ada yang ditumpuk, sebagian
besar dibuang kealiaran sungai mengakibatkan penyempitan alur dan pendangkalan
sungai serta pencemaran air, bahkan ada yang dibakar secara langsung sehingga
ikut menambah emisi gas karbon di atmosfir. Data dari Departemen Kehutanan dan
Perkebunan untuk tahun 1999/2000 menunjukkan bahwa produksi kayu lapis
Indonesia mencapai 4,61 juta m³, sedangkan kayu gergajian mencapai 2,6 juta m³
per tahun. Dengan asumsi bahwa jumlah limbah kayu yang dihasilkan mencapai 61%,
maka di perkirakan
limbah kayu yang dihasilkan mencapai lebih dari 4 juta m³ (BPS. 2000). Apabila
hanya limbah industri penggergajian yang dihitung maka dihasilkan limbah
sebanyak 1,4 juta m³ per tahun.
2.4.
Biomasa dan
Biomass pellets (Biopelet)
Biomasa meliiputi
semua bahan yang bersipat organik (semua makhluk hidup yang hidup atau
mengalami pertumbuhan dajuga risidenya) (El bassam dan maegaard 2004). Biomassa
merupakan sumber energi terbarukan yang paling serbaguna dibidang sumber energi
terbarukan lainnya. Bimassa dapat bahan bakar untuk panas, listrik dan
transportasi (Siemers 2006). Bahan yang terrmasuk biomassa antara lain sisa
hasil hutan dan perkebunan, biji dan limbah pertanian, kayu dan limbah kayu,
limbah hewan tanaman air, tanaman kecil, dan limbah industri serta limbah
pemukiman (Bergnab dan Zerbe 2004). Biomassa merupakan sumber energi yang
bersih dan dapat diperbaharui namun biomasa mempunyai kekurangan yaitu tidak
dapat langsung dibakar karena sifat fisiknya yang buruk, seperti kerapatan
energi yang rendah dan permasalahan penanganan, penyimpanan dan transportasi
(Saotoadi 2006).
Menurut
Yamada et al.(2005), penggunaaan
bahan bakar biomssa secara langsung dan tanpa pengelolaan akan menyebabkan
timbulnya penyakit pernapasan yang disebabkan oleh karbon monoksida, sulfur
dioksida (SO2) dan bahan partikulat. Densifikasi limbah pertanian
dan kehutanan menjadi briket atau pellet adalah suatu metode pengembangan
fungsi suatu sumberdaya. Densifukasi dapat meningkatkan kandungan energi tiap
satu poluma dan juga dapat mengurangi biaya transportasi dan penanganan. Densitas
briket biomassa berada di atas rentang densitas kayu yaitu antara
800–1.100 kg/m3 dan densitas kamba (untuk pengemasan
dan pemuatan ke dalam alat transportasi) sekitar 600–800 kg/m3 (Leach
dan Gowen 1987).
Menurut
Leach dan Gowen (1987), metode densifikasi untuk pembuatan pelet
atau briket dapat dibedakan menjadi 2 kategori, yaitu sistem tekanan rendah seperti
mesin pengempa manual dan mekanis serta sistem tekanan tinggi seperti roller,
piston atau screw extrusion.
Pelet
merupakan salah satu bentuk energi biomassa, yang diproduksi pertama
kali di Swedia pada tahun 1980-an. Pelet digunakan sebagai pemanas ruang
untuk ruang skala kecil dan menengah. Pelet dibuat dari hasil samping terutama
serbuk kayu. Pelet kayu digunakan sebagai penghasil panas bagi pemukiman
atau industri skala kecil. Di Swedia, pelet memiliki ukuran diameter 6–12
mm serta panjang 10–20 mm (NUTEK 1996, dalam Jonsson 2006).
Pelet
merupakan hasil pengempaan biomassa yang memiliki tekanan yang lebih
besar jika dibandingkan dengan briket (60 kg/m3,
kadar abu 1% dan kadar air kurang dari 10%) (El Bassam dan Maegaard 2004).
Pelet memiliki kadar air yang rendah sehingga dapat lebih
meningkatkan efektivitas pembakaran (VE2006).
Bahan
bakar pelet memiliki diameter antara 3-12 mm dan panjang bervariasi
antara 6–25 mm. Pelet diproduksi oleh suatu alat dengan mekanisme pemasukan
bahan secara terus-menerus serta mendorong bahan yang telah dikeringkan
dan termampatkan melewati lingkaran baja dengan beberapa lubang yang
memiliki ukuran tertentu. Proses pemampatan ini menghasilkan bahan yang padat
dan akan patah ketika mencapai panjang yang diinginkan (Ramsay 1982).
Menurut
Ramsay (1982), proses pembuatan pelet menghasilkan panas akibat
gesekan alat yang memudahkan proses pengikatan bahan dan penurunan kadar
air bahan hingga mencapai 5–10%. Panas juga menyebabkan suhu pelet ketika
keluar mencapai 60–65°C sehingga dibutuhkan pendinginan.
Metode
pembuatan pelet yang lain dilakukan oleh Livington pada tahun 1977
(Livington dalam Ramsay 1982) dan telah dipatenkan di US Patent. Proses pembuatan
pelet dilakukan dari bahan organik dengan kadar air antara 16–28%. Proses
berlangsung pada suhu 163°C dan tekanan pada lempeng baja sebesar 178 kN.
Pelet yang dihasilkan memiliki ukuran diameter 3 mm serta panjang 13 mm. Pelet
kemudian dikeringkan dengan udara panas dan menghasilkan kadar air 7–8% serta
bobot jenis lebih dari 1,0.
Tabel 02 perbandingan biopelet
Kualitas biopelet
|
Unit
|
Onorm M 7135 (Australia)(a)
|
DIN 51731 (Jerman)(a)
|
DIN plus (pelet
asociation germany)(a)
|
Pelet fuel
Institute (b)
|
ITEBE (c)
(2001-2007)
|
Diameter
|
Mm
|
4-10
|
4-10
|
-
|
6,35 – 7,94
|
6 -16
|
Panjang
|
Mm
|
5x D (1)
|
<50
|
5xD (1)
|
<38,1
|
10- 50
|
Densitas
|
Kg/dm3
|
>1,12
|
1,0-1,4
|
>1,12
|
>0,64
|
>1,15
|
Kadar air
|
%
|
< 10
|
<12
|
<10
|
-
|
≤15
|
Kadar abu
|
%
|
< 0,50
|
<1,50
|
<0,50
|
<3 (standar)
|
≤16
|
Nilai kalor
|
Mj/kg
|
>18
|
17,5 – 19,5
|
>18
|
<1 (premium)
|
>16,9
|
Sulfur
|
%
|
<0,04
|
<0,8
|
<0,04
|
>19,8
|
<0,10
|
Nitrogen
|
%
|
<0,3
|
<0,3
|
<0,3
|
-
|
≤0,5
|
Klorin
|
%
|
<0,02
|
,0,03
|
<0,02
|
-
|
<0,07
|
Abrasi
|
%
|
<2,3
|
-
|
<2,3
|
<0,03
|
-
|
Bahan tambahan
|
%
|
<2
|
-(2)
|
<2
|
-
|
≤2
|
Sumber : (a) HEZO (2006); (b)
PFI (2007); (c) Douard (2007)
Keunggulan utama pemakaian bahan bakar
pelet biomassa adalah penggunaan kembali bahan limbah seperti serbuk kayu yang
biasanya dibuang begitu saja. Serbuk kayu yang terbuang begitu saja dapat
teroksidasi dibawah kondisi yang tak terkendali akan membentuk gas metana atau
gas rumah kaca (Cook 2007).
Menurut PFI (2007b), pelet memiliki
konsistensi dan efisiensi bakar yang dapat menghasilkan emisi yang lebih rendah
dari kayu. Bahan bakar pelet menghasilkan emisi bahan partikulat yang paling
rendah dibandingkan jenis lainnya. Arsenik, karbon monoksida, sulfur, dan gas
karbondioksida merupakan sedikit polutan air dan udara yang dihasilkan oleh
penggunaan minyak sebagai bahan bakar.
Sistem pemanasan dengan pelet
menghasilkan emisi CO2 yang rendah karena
jumlah CO2 yang dikeluarkan selama pembakaran
setara dengan CO2 yang diserap tanaman
ketika tumbuh, sehingga tidak membahayakan lingkungan. Dengan efisiensi bakar
yang tinggi, jenis emisi lain seperti NOx dan
bahan organik yang mudah menguap juga dapat diturunkan. Masalah yang masih
tersisa adalah emisi debu akibat peningkatan penggunaan sistem pemanasan dengan
pelets Berdasarkan PFI (2007a), terdapat 2
jenis kualitas bahan bakar pelet yang diproduksi yaitu premium dan standar.
Perbedaan keduanya adalah pada kadar abu. Jenis standar memiliki kadar abu
maksimal 3%, sedangkan jenis premium memiliki kadar abu tidak lebih dari 1%.
Perbedaan ini merupakan hasil dari perbedaan kandungan pelet. Pelet jenis
standar dibuat dari bahan yang menghasilkan residu abu, seperti kulit kayu dan
limbah pertanian. Sedangkan pelet jenis premium dibuat dari serbuk kayu keras
dan kayu lunak yang tidak mengandung kulit kayu. Pelet jenis standar hanya
dapat dibakar di instalasi pembakaran yang dirancang untuk pelet yang
mengandung kadar abu tinggi.
2.5.
Perekat
Tapioka
Terdapat dua macam perekat yang biasa
digunakan dalam pembuatan briket, yaitu perekat yang berasap (tar, molase, dan pitch),
dan perekat yang tidak berasap (pati dan dekstrin tepung beras). Untuk briket
yang digunakan di rumah tangga sebaiknya memakai bahan perekat yang tidak
berasap (Abdullah, 1991). Menurut White dan Paskett (1981) bahan perekat
ditambahkan kedalam biopelet untuk meningkatkan keteguhan tekan, diantaranya
bitumen, resin dan gum. Ramsay (1982) menambahkan bahwa penambahan perekat juga
bertujuan untuk meningkatkan ikatan antar partikel, memberikan warna yang
seragam dan juga memberikan bau yang harum.
Tapioka merupakan bahan yang sering
digunakan sebagai perekat dalam pembuatan briket karena mudah didapat dan
harganya yang relatif murah. Kelemahan penggunaan tapioka sebagai perekat yaitu
akan sedikit berpengaruh pada penurunan nilai kalor produk dibandingkan bahan
bakunya, selain itu produk yang dihasilkan kurang tahan terhadap kelembaban.
Hal ini disebabkan tapioka memiliki sifat dapat menyerap air dari udara. Kadar
perekat yang tinggi juga dapat menurunkan mutu briket akibat timbulnya asap.
Penambahan optimal perekat sebaiknya tidak lebih dari 5% (Sudrajat dan Soleh
1994). Huege dan Ingram (2006) menambahkan bahwa jumlah perekat yang dianjurkan
adalah 0,5–5% b/b
total campuran. Tepung tapioka merupakan hasil ekstraksi pati ubi kayu yang
telah mengalami proses pencucian secara sempurna serta dilanjutkan dengan
pengeringan. Tepung tapioka hampir seluruhnya terdiri dari pati. Ukuran granula
pati tapioka berkisar antara 5-35 mikron. (Ma’arif et al., 1984).
BAB III. METODE PENELITIAN
3.1. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan di
workshop wood pellet Universitas
Lancang Kuning Pekanbaru pada Bulan Februari-Maret 2014
3.2. Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah Serbuk Gergajian Kusen, Tepung tapioka untuk perekat,
Air, saringan dengan ukuran lolos 22 mesh dan tertahan pada ukuran 40mesh.
Baskom, timbangan, Mesin Pencetak Wood Pellet. Oven. Alat uji kadar air,
timbangan digital, Mikrometer, Kompor untuk mengukur lama penyalaan.
3.3. Metode Penelitian
3.3.1. Pembuatan wood pellet
a) Tahapan persiapan pembuatan wood
pellet
Limbah serbuk kayu gergajian kusen
yang akan dijadikan bahan baku wood pellet dengan lolos saringan 22 mesh dan
tertahan pada saringan 40mesh, serbuk yang telah disaring akan dikering
anginkan dibawah sinar matahari langsung agar kadar airnya sama.
b) Tahap pembuatan wood pellet
Pembuatan wood pellet dilakukan
dengan mesin khusus pembuat wood pellet, setiap pembuatan digunakan 2 kg bahan
baku dengan perlakuan 5%, 10%. 15%,
Perekat atau tepung tapioka dan pemberian air dilakukan dengan 100ml L, 150ml
L, 200ml L, dan 200ml L. Dilakukan pengulangan sebanyak 3 kali ulangan.
![]() |
|||||||
![]() |
|||||||
![]() |
![]() |
||||||
![]() |
![]() |
Gambar 01. Skema pembuatan wood pellet
c) Rancangan
Perlakuan
Rancangan percobaan
penelitian yang digunakan adalah rancangan faktorial acak lengkap dua faktor
dengan disertai dua ulangan. Faktor-faktor yang dianalisis ada dua yaitu:
1)
Faktor persentase penambahan air,
ada empat taraf perlakuan air yang dicobakan yaitu 50ml L, 100ml L,
150ml L dan 200ml L.
2)
Faktor persentase penambahan perekat
tapioka, ada empat taraf perlakuan pati yang dicobakan yaitu 5%, 10%, 15% dan
20%. Dengan basis percobaan 2 kg serbuk gergajian kayu kusen.
Model linear
Model linear dari rancangan faktorial penelitian ini adalah
:
Yijk = m + ai + bj
+ (ab)ij
+ eijk ; i
= 1, 2, 3
j = 1 , 2, 3, 4
k = 1, 2
di mana :
Yijk = Nilai pengamatan
pada satuan percobaan ke-k yang memperoleh kombinasi perlakuan ij (taraf ke-i
dari faktor air dan tarak ke-j dari faktor tapioka)
m = Nilai tengah populasi (rata-rata yang
sesungguhnya)
ai = pengaruh aditif
taraf ke-i dari faktor air
bj = pengaruh aditif
taraf ke-j dari faktor tapioka
(ab)ij
= pengaruh interaksi taraf ke-i faktor air dan taraf
ke-j faktor tapioka
eijk = pengaruh galat dari
satuan percobaan ke-k yang memperoleh kombinasi perlakuan ij.
3.4. Pariabel Pengamatan
1.
Pengujian
kadar air
Kadar air sampel dihitung dengan
rumus
KA = 

Ba : Berat sebelum dikeringkan dalam tanur.
Bkt :
Berat setelah dikeringkan dalam tanur.
2.
Menghitung
kerapatan sampel
Kerapatan sampel dihitung dengan
menggunakan rumus
K(g/cm³) =

3. Menhitung nilai kalor